07:50

Kesalahan Dalam Pengelolaan Keuangan Usaha

Seperti yang sudah saya janjikan pada artikel sebelumnya mengenai kegagalan dalam menjalankan usaha, berikut akan saya jelaskan mengenai kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan dalam pengelolaan keuangan usaha.

Kesalahan Pertama : Pembiayaan atas Modal Usaha yang sangat tinggi.
Pada contoh di atas, diceritakan bahwa modal usaha Ibu Indah sebesar Rp. 15.000.000.-
Sebagian dari uang tabungannya sendiri sebesar Rp. 10.000.000.-, dan sisanya sebesar Rp. 5.000.000.- didapatkan dengan cara meminjam uang dari kenalannya dengan bunga 10% per bulan.
Mungkin anda berpikir bahwa modal usaha harus dari uang sendiri, dan tidak boleh dari pinjaman.
Sebenarnya, dalam ilmu Akuntansi, tidak ada larangan untuk meminjam. Modal usaha bisa juga berasal dari pinjaman.

Mari kita ulangi lagi pelajaran Ekonomi waktu di bangku SMA dulu.
Ada persamaan yang mengatakan bahwa :

Aktiva (Assets) = Equity

Aktiva (Assets/Harta) sama dengan Equity (Ekuitas).
Aktiva adalah harta yang dimiliki oleh perusahaan (Bila dikaitkan dengan contoh di atas, kita anggap warung nasi Ibu Indah adalah suatu perusahaan).
Sedangkan Ekuitas adalah hak atau klaim atas harta tersebut (darimana harta tersebut berasal)
Bila Aktiva jumlahnya Rp. 15.000.000.-, maka Ekuitas juga jumlahnya Rp. 15.000.000.-

Aktiva = Ekuitas
Rp. 15.000.000.- = Rp. 15.000.000.-

Persamaan yang berikutnya adalah :

Aktiva = Liability + Owner’s Equity
Harta = Utang + Modal

Harta sama dengan Liability (Kewajiban) ditambah Owner’s Equity (Modal Pemilik)
Dalam perusahaan, Ekuitas berasal dari 2 sumber utama, yaitu :
(1) Dari peminjam, yaitu berupa hutang. Diistilahkan dengan Liability atau Kewajiban, karena kita berkewajiban untuk mengembalikan hutang tersebut.
(2) Dari modal pemilik perusahaan. Diistilahkan dengan Owner’s Equity.

Aktiva = Liability + Owner’s Equity
Rp. 15.000.000.- = Rp. 5.000.000.- + Rp. 10.000.000.-

Dengan melihat kembali pelajaran waktu SMA dulu, terlihat jelas bahwa dalam Ilmu Akuntansi, tidak ada larangan untuk menggunakan modal usaha dari pihak luar.

Q : Kalau dalam Akuntansi dibolehkan meminjam dari pihak luar, trus, yang menjadi masalahnya apa?
A : Yang menjadi masalah adalah..
Atas pinjaman sebesar Rp. 5.000.000.- tersebut, Ibu Indah harus mengeluarkan uang untuk membayar bunga. Suku bunga yang disyaratkan sangat tinggi yaitu 10% dari Pokok Pinjaman. Artinya Ibu Indah harus membayar bunga pinjaman sebesar 10% x Rp. 5.000.000.- = Rp. 500.000.- setiap bulannya (kita anggap bunga pinjaman tersebut adalah bunga tetap)
Mari kita hitung bersama, berapa biaya bunga yang harus dibayar oleh Ibu Indah.

Bulan ke-0 : pencairan Rp. 5.000.000.-
Bulan ke-1 : angsuran pertama Rp. 1.000.000.- + bunga Rp. 500.000.-
Bulan ke-2 : angsuran kedua Rp. 1.000.000.- + bunga Rp. 500.000.-
Bulan ke-3 : angsuran ketiga Rp. 1.000.000.- + bunga Rp. 500.000.-
Bulan ke-4 : angsuran keempat Rp. 1.000.000.- + bunga Rp. 500.000.-
Bulan ke-5 : angsuran kelima Rp. 1.000.000.- + bunga Rp. 500.000.-

Jumlah angsuran : Rp. 5.000.000.-
Jumlah bunga : Rp. 2.500.000.-

Biaya bunga yang harus dibayar oleh Ibu Indah sampai pinjaman tersebut lunas adalah Rp. 2.500.000.-, sebesar ½ dari jumlah pinjaman!!!

Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagai pemilik perusahaan, Ibu Indah tidak bijak dalam memilih sumber dana. Dia lebih memilih untuk meminjam dari rentenir dengan bunga 10% per bulan. Padahal ada banyak alternatif lembaga keuangan yang dapat menyediakan dana dengan bunga yang jauh lebih ringan tanpa harus tercekik oleh rentenir. Contohnya Bank, BPR (Bank Perkreditan Rakyat), dan Koperasi Simpan-Pinjam, atau yang umum kita sebut Koperasi Kredit.

Keunggulan Koperasi dibanding lembaga keuangan lainnya adalah dalam hal kepemilikan. Bank & BPR dimiliki oleh para pemegang saham. Para nasabah yang menyimpan uang di Bank/BPR tersebut bukan merupakan pemilik di Bank/BPR tersebut. Jadi, setiap akhir tahun, pada saat RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), yang berhak hadir hanyalah para pemegang saham. Nasabah tidak berhak hadir karena bukan pemegang saham, dan juga tidak berhak memperoleh bagian atas pembagian Laba Usaha dari Bank/BPR tersebut selama setahun.
Sedangkan di Koperasi (termasuk di dalamnya Koperasi Kredit), para anggota sekaligus juga sebagai pemilik dari Koperasi tersebut. Setiap kali anggota menyimpan uang di Koperasi, maka simpanan tersebut akan dihitung sebagai saham. Pada akhir tahun, diadakan RAT (Rapat Anggota Tahunan). Para anggota sebagai pemilik/pemegang saham Koperasi, berhak hadir dalam RAT. Dan berhak pula memperoleh bagian atas pembagian Laba Usaha (atau istilah dalam koperasinya SHU, Sisa Hasil Usaha).

Jadi, bunga yang kita bayarkan kepada Koperasi Kredit, akan dikembalikan kepada kita dalam bentuk SHU, setiap akhir tahun.
Penjelasannya begini. Anggota meminjam uang di Koperasi Kredit. Setiap bulan, anggota membayar angsuran dan bunga dengan rutin. Bunga yang dibayarkan anggota menjadi pendapatan koperasi kredit. Pendapatan tersebut, setelah dikurangi biaya-biaya, menjadi Laba atau SHU koperasi kredit tersebut. SHU ini, nanti akan dibagikan kepada anggota dalam RAT, sesuai dengan presentasi partisipasi anggota tersebut. Semakin banyak menyimpan dan meminjam -kemudian mengembalikan dengan tepat waktu dan tepat jumlah-, maka SHU yang didapat anggota tersebut akan semakin besar.

Jadi, menurut anda, kemana sebaiknya Ibu Indah meminjam uang untuk modal usaha warung nasinya?
Ke rentenir, ke bank, ke BPR, atau ke Koperasi Kredit?

Kesalahan Kedua :
Tidak Melakukan Pembukuan/Pencatatan Keuangan Usaha

Q : Apa itu Pembukuan/Pencatatan?
A :
Dalam ilmu Akuntansi dan juga Hukum Perpajakan, dikenal istilah Pembukuan dan Pencatatan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang kemudian dilanjutkan dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laba rugi pada setiap tahun berakhir.
Sedangkan Pencatatan adalah hanya mencatat hasil penjualan barang atau jasa, dikurangi dengan pengeluaran biaya. Didapatlah keuntungan bersih. Dalam pencatatan, harta dan kewajiban diabaikan.

Q : Bilamana kita melakukan pembukuan, dan bilamana kita melakukan pencatatan?
A :
Ada dua kategori :
1. Usaha perorangan
- Bila total laba bersih usaha dalam setahun lebih kecil dari Rp. 600 juta, melakukan pencatatan.
- Bila total laba bersih usaha dalam setahun lebih besar dari Rp. 600 juta, wajib melakukan pembukuan.
2. Badan Usaha
Setiap badan usaha yang memiliki penghasilan, wajib melakukan pembukuan.

Q : Hubungannya dengan kasus Ibu Indah?
A :
Dalam cerita disebutkan, bahwa laba bersih usaha warung nasi Ibu Indah setiap bulannya berkisar antara Rp. 4.500.000.- s.d. Rp. 6.000.000.-. Bila dikalikan 12 bulan, maka laba bersihnya kurang dari Rp. 600 juta. Jadi Ibu Indah tidak diwajibkan membuat pembukuan, cukup pencatatan saja.
Tetapi yang terjadi adalah, Ibu Indah sama sekali tidak membuat pencatatan keuangan atas usaha warung nasinya itu. Akibatnya, terjadi lose control atau lepas kendali dalam keuangan usaha tersebut, sehingga Ibu Indah tidak tahu apakah dia mengalami keuntungan atau kerugian, dan untuk apa saja uang tersebut habis digunakan.
Hal ini sering terjadi pada pengusaha kecil. Coba anda iseng-iseng bertanya kepada tukang bakso yang lewat di depan rumah anda, berapa keuntungan berdagang bakso dalam sebulan. Biasanya mereka akan menjawab, ”Lumayan lah..” sambil mereka tidak bisa menghitung berapa jumlah persis keuntungan mereka dalam angka rupiah.

Jadi, pembukuan/pencatatan keuangan itu sangat penting dalam kegiatan usaha. Pembukuan/pencatatan itu berfungsi seperti dashboard pada mobil. Saat mengendarai mobil, dengan melihat ke dashboard, kita bisa mengetahui kecepatan mobil yang kita kendarai, kemiringan jalan yang kita lewati, seberapa jauh kilometer yang sudah ditempuh, dan juga keadaan bensin yang ada di dalam tangki apakah penuh atau kosong.

Begitu juga dengan pencatatan/pembukuan. Dengan adanya pencatatan/pembukuan, kita bisa mengetahui bagaimana sebenarnya keadaan keuangan usaha kita. Apakah kita mengalami keuntungan, atau justru mengalami kerugian. Kita memegang kendali penuh atas keuangan usaha kita. Kita bisa mengetahui sampai sejauh mana perkembangan usaha kita sejak awal dimulai, seberapa cepat pertumbuhan usaha kita, dan bagaimana kondisi uang kas, apakah masih tersedia atau sudah habis. Dengan demikian, kita bisa mengambil keputusan yang tepat dalam menjalankan usaha kita.

Kesalahan Ketiga : Tidak adanya pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan usaha

Ini merupakan efek lanjutan dari tidak adanya pencatatan/pembukuan keuangan usaha.
Disebabkan oleh tidak adanya pencatatan/pembukuan, maka kita tidak bisa mengetahui berapa sebenarnya uang kas untuk keperluan usaha. Sehingga uang yang sebenarnya merupakan modal usaha kita, akhirnya terpakai untuk keperluan pribadi.

Namun perlu digarisbawahi bahwa meskipun kita sudah memiliki pencatatan/pembukuan keuangan usaha yang rapi, kita tetap bisa saja lalai menggunakan uang usaha kita untuk keperluan pribadi. Hal ini biasanya disebabkan oleh kekurangmampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan tidak adanya kedisiplinan dalam diri kita. Untuk itu kita harus melatih kedisiplinan dan pengendalian diri dalam diri kita.

Diketik di Bandung, 17 Mei 2009
 Gitz 2009
source :
* materi mata kuliah Akuntansi
* materi mata kuliah Perpajakan
* materi mata kuliah Ekonomi Koperasi
* bahan bacaan lain yang terkait

0 comments: